NATIONAL YOUTH CONVENTION, TGL. 29 JULI 1998 PDT. JOSHUA LIE, S.Th. I Samuel 15 34-35; 16:1-3, 11, 7
34) Kemudian Samuel pergi ke Rama, tetapi Saul pergi ke rumahnya, di Gibea-Saul. 35) Sampai hari matinya Samuel tidak melihat Saul lagi, tetapi Samuel berduka cita karena Saul. Dan Tuhan menyesal, karena Ia menjadikan Saul raja atas Israel. 1) Berfirmanlah Tuhan kepada Samuel, "Berapa lama lagi engkau berduka cita karena Saul? Bukankah ia telah Ku-tolak sebagai raja atas Israel? Isilah tabung tandukmu dengan minyak dan pergilah. Aku mengutus engkau kepada Isai, orang Betlehem itu, sebab di antara anak-anaknya telah Ku-pilih seorang raja bagi-Ku." 2) Tetapi Samuel berkata, "Bagaimana mungkin aku pergi? Jika Saul mendengarnya, ia akan membunuh aku." Firman Tuhan, "Bawalah seekor lembu muda dan katakan: Aku datang untuk mempersembahkan korban kepada Tuhan." 3) Kemudian undanglah Isai ke upacara pengorbanan itu, lalu Aku akan memberitahukan kepadamu apa yang harus kau perbuat. Urapilah bagi-Ku orang yang akan Ku-sebut kepadamu." 11) Lalu Samuel berkata kepada Isai, "Inikah anakmu semuanya?" Jawabnya, "Masih tinggal yang bungsu, tetapi sedang menggembalakan kambing domba." Kata Samuel kepada Isai, "Suruhlah memanggil dia, sebab kita tidak akan duduk makan, sebelum ia datang kemari." 7) Tetapi berfirmanlah Tuhan kepada Samuel, "Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati."
Masa Transisi Di dalam sepanjang yang Alkitab nyatakan kepada kita, beberapa kali Tuhan memimpin umat Israel melalui masa yang boleh disebut sebagai masa transisi. Masa transisi adalah suatu masa yang sukar, masa yang memerlukan kesungguhan hati untuk melaluinya, Masa transisi adalah masa dimana kita perlu memahami kehendak Tuhan, sehingga kita tidak sekedar diarahkan oleh masa dan jaman itu, tetapi kita boleh dipakai Tuhan untuk memimpin dalam masa transisi itu menuju ke tempat yang Tuhan kehendaki.
Transisi Pertama Di dalam perjalanan sejarahnya, umat Israel berasal dari satu keluarga (Abraham) yang kemudian mau dipimpin oleh Tuhan menjadi satu bangsa yang besar. Ini satu masa transisi yang tidak mudah. Bagaimana mungkin dari satu keluarga yang berpindah-pindah (nomaden), Tuhan pimpin untuk menjadi satu bangsa? Maka Tuhan Allah membangkitkan seorang yang bernama Yusuf untuk memimpin transisi yang sukar ini. Tuhan memimpin Yusuf untuk pergi terlebih dahulu ke Mesir. Di Mesir, Yusuf dipakai Tuhan menjadi seorang yang penting. Maka lahirlah satu bangsa, Israel, yang dalam kelahirannya ini boleh kita pakai istilah "dari dalam rahim negara Mesir". Dari satu keluarga, sebelum dilahirkan menjadi satu bangsa, perlu dipelihara, dikandung terlebih dahulu. Dalam proses itu, Tuhan Allah memakai seorang yang bernama Yusuf untuk memimpin masa yang sukar itu. Yusuf dibentuk Tuhan, dari seorang anak yang dicintai ayahnya, menuju ke penjara, kepada hidup yang tidak berpengharapan, sampai akhirnya dipakai Tuhan di negara yang besar pada waktu itu, yaitu Mesir. Inilah transisi pertama.
Transisi Kedua. Setelah Israel menjadi satu bangsa, maka Israel dipersiapkan Tuhan untuk menjadi satu kingdom atau kerajaan. Dari satu bangsa mau dijadikan satu kerajaan, juga merupakan masa yang sukar, masa transisi yang sulit sekali. Di dalam masa transisi yang sukar itu, Tuhan membangkitkan seorang yang bernama Samuel. Dari satu bangsa yang diakhiri dengan masa hakim-hakim, masa yang paling rumit, paling mengerikan. Masa dimana setiap orang boleh melakukan apa yang dipandangnya baik; Kalau dia anggap membunuh orang itu baik, maka dia kerjakan itu; Kalau dia mau berbuat apa yang dianggap baik, dia kerjakan itu. Masa hakim-hakim adalah masa yang paling rumit, paling mengerikan, di dalam sejarah Israel. Dari keadaan yang seperti itu, mau dipimpin menuju kepada satu kerajaan yang teratur, yang tertib, yang ada rajanya, yang memimpin, mengelola satu kerajaan,... Itu masa yang tidak mudah. Dan Tuhan mempersiapkan Samuel untuk melewati masa yang sukar itu.
Transisi Berikutnya Kemudian muncul lagi masa transisi sukar yang berikutnya, yaitu Israel dari satu kerajaan yang merdeka, yang besar dan hebat, sekarang ditaklukkan oleh Babel. Mereka dibuang ke Babel. Ini cara penghancuran satu bangsa yang paling mengerikan. Kalau Israel hanya ditawan oleh Babel di tempatnya sendiri, itu sudah mengerikan. Tetapi belum seberapa, karena itu berarti Israel masih ingat bahwa mereka berada di tanahnya sendiri, berada di rumahnya sendiri. Israel akan dapat mempertahankan identitasnya. Namun Israel dibuang ke Babel, itu dilakukan supaya Israel lupa siapa dirinya, sehingga boleh menjadi Babel; supaya Israel lupa bahwa mereka adalah umat Allah.
Setelah 70 tahun di Babel, mereka bingung, mereka bergumul, menangis di tepi sungai, seperti yang dikatakan dalam Mazmur. Melalui tangisan-tangisan itu, Tuhan memimpin mereka kembali ke kota Yerusalem. Di situ Tuhan membangkitkan Ezra dan Nehemia, serta khususnya Jerubabel. Ezra dan Nehemia dipakai Tuhan untuk memimpin Israel yang sudah kacau balau di Babel. Puji Tuhan, masih ada Daniel dan teman-temannya. Namun kebanyakan dari mereka sudah menjadi kacau tentang siapakah dirinya. Mereka sudah lupa panggilan akan Tuhan. Masa transisi yang sukar berikutnya di dalam Alkitab adalah setelah Nabi Maleakhi selesai menyampaikan Firman Tuhan, selama 400 tahun kemudian sepi; tidak ada nabi lagi yang dibangkitkan Tuhan. Masa yang sepi sekali. Pada masa itu Tuhan mempersiapkan datangnya Mesias, Anak Allah yang tunggal datang ke dalam dunia. Itu masa transisi yang sukar dan di situ Tuhan membangkitkan Yohanes Pembaptis.
Mengapa saya mengajak kita memikirkan transisi-transisi ini? Karena sekarang pun kita sedang mengalami masa transisi yang sukar dalam memasuki milenium yang kedua, milenium yang akan datang, milenium yang baru, abad yang baru. Jikalau kita mempelajari sejarah, maka kita melihat penggantian abad bukan sekedar suatu permainan. Sejak jaman Before Christ, sudah terjadi perubahan yang dahsyat. Dari segala konsep pemikiran, dengan kedatangan Allah, dari tahun 900, tahun 1000 menuju ke tahun 1001, ke abad berikutnya; maka dunia barat khususnya, mengalami goncangan yang dahsyat sekali. Satu persatu muncul sistem demi sistem. Sistem memasuki zaman scholastic, mediafel yang panjang sekali. Kita tidak akan membicarakan hal itu di sini. Dari tahun 1900-an masuk ke tahun 2000 dan 2001, kita masuki abad yang baru. Ini saat yang paling rumit di dalam sejarah.
Saya tidak tahu apakah Saudara menyadari atau tidak. Sekarang ini telah terjadi benturan-benturan pengetahuan, terjadi perombakan-perombakan dahsyat di dalam pengetahuan, terjadi kekacauan-kekacauan. Saya sadar satu hal, kekeacauan yang terjadi di Asia ini merupakan agenda-agenda menuju abad yang akan datang di seluruh dunia. Jikalau Saudara membaca buku Fukuyama yang berjudul "The End of the History of the Last Man", maka itu tergantung analisa-analisa dari agenda abad yang akan datang. Goncangan terjadi, negara-negara Asia terkena imbasnya melalui ekonomi, merambat ke politik, merambat ke aspek-aspek yang lain, sampai mulai timbul kecurigaan antar-etnis, dan sebagainya. Apa masalah sebenarnya? Mengapa masalahnya bisa meluas kemana-mana, bisa kacau di mana-mana? Sebetulnya ada masalah apa di dalam negara kita? Kenapa masalahnya menjadi rumit tidak karuan? Akhirnya segala keindahan yang Tuhan berikan dalam keragaman, menjadi kerumitan yang tidak habis-habisnya. Kalau Saudara mendengar berita di radio atau televisi, membaca koran atau majalah; semakin baca bisa semakin mumet, karena begitu rumit, begitu banyak pendapat.
Menuju abad yang akan datang, kita diperkenalkan dengan post-modernisme. Seluruh pengertian abad ke-21 diawali dengan satu imbuhan awalan, yaitu Post (pasca, sesudah) dan diawali dengan The End of Philosophy. diawali dengan The death of economic, The death of Philosophy, The death of Culture, diawali dengan Post, Post Modern, Post..., Post...., ini satu zaman yang rumit luar biasa yang harus kita lalui. Saya berdoa supaya Tuhan membangkitkan orang-orang Kristen, pemuda-pemuda Kristen, yang tidak dikuasai oleh urusan-urusan yang dibuat oleh dunia, yang membuat kita tidak bisa melangkah, tidak dapat berdiri tegak menghadapi abad yang akan datang. Dengan segala agenda yang penuh dengan air mata, tersimpan bom waktu bagi umat manusia di dalam dunia yang berdosa, tanpa pengharapan. Jangan sampai kita disibukkan oleh pikiran-pikiran yang sebetulnya hanya mengganggu panggilan kita, mengganggu perjalanan kita, mengganggu apa yang seharusnya kita kerjakan bagi Tuhan. Kita hanya disodorkan masalah-masalah yang dibuat oleh dunia yang berdosa. Itu bukan masalah kita. Orang percaya seharusnya jangan selalu disibukkan dengan masalah dari dunia. Kita harus membuat masalah bagi dunia, supaya dunia sadar, dirinya bermasalah. Gereja sebetulnya tidak ada masalah, karena gereja mau dibentuk terus oleh Tuhan. Tetapi yang menyedihkan, masalah-masalah dunia dibawa masuk ke dalam gereja. Ini membuat gereja dibebani dengan beban yang banyak, yang berat, sehingga untuk berjalanpun menjadi sulit. Akhirnya gereja akan tersingkir dari dalam perjalanan sejarah.
Ketika saya khusus mempelajari post-modern, saya hanya kagum satu hal, namun sekaligus juga hati saya menangis. Saya bertanya: Tuhan kenapa orang post-modern yang bisa menantang modern? Kenapa bukan gereja? Kenapa bukan orang Kristen yang berkata: 'Hai modern, terlalu banyak kesalahan dan masalahmu!'? Kenapa orang post-modern yang berani menantang orang modern, bukan gereja dan orang Kristen? Orang Kristen malah sudah berjiwa modern. Timbulnya pemecahan-pemecahan, konflik-konflik, itu karena agenda orang modern. Bagi saya, masalah pri dan non-pri hanya muncul dalam agenda-agenda modern yang rumit dan tidak karuan, bukan urusan agenda kita sebetulnya, tetapisudah menular ke dalam hidup kita. Sekarang orang post-mo yang berani berkata: Hai orang modern, terlalu banyak korban yang kau lakukan selama engkau berkuasa! Dalam dunia modern terlalu banyak kesenjangan terjadi, kaya dan miskin, ... sekarang terlalu banyak orang yang menganggur, terlalu banyak RS Jiwa yang dibangun, karena banyak orang sakit jiwa di dalam dunia modern. Hai orang modern, selama engkau berkuasa, berapa banyak perang sudah terjadi? Perang Dunia I, PD II, perang-perang lokal. Hai orang modern, berapa banyak darah sedang kau alirkan? Siapa yang berseru begitu? Bukan gereja, tapi orang post-mo. Di mana suara gereja? Di mana suara orang Kristen? Kita dibuatkan problem oleh dunia. Oleh karena itu kita hanya sekedar ikut-ikutan bicara tentang problem yang diberikan dunia dan tentang agenda-agenda yang rumit di dalam dunia yang berdosa. Ini transisi yang sulit.
Kita tidak cukup banyak waktu menguraikan hal ini, tapi mari kita kembali kepada prinsip dari Kitab Samuel. Kita lihat masa ketika Samuel dipanggil Tuhan untuk mempersiapkan umat Allah. Dari masa hakim-hakim yang sukar, kacau-balau, rumit. Masing-masing bertindak sendiri tanpa hukum karena menganggap dirinya adalah hukum. Kekacauan-kekacauan yang mengerikan terjadi. Sekarang Israel mau dipimpin masuk ke dalam masa kerajaan. Celakanya pada permulaan kerajaan ini ketemunya Saul, bukan langsung ketemu Daud yang diperkenan Tuhan, harus melalui Saul. Terjadilah masa transisi dobel. Dari masa hakim-hakim masuk ke dalam masa kerajaan terjadi dalam kesukaran. Sewaktu Israel berteriak: Kami mau raja! Kami mau Raja! Samuel sampai menangis di hadapan Tuhan. Tetapi Tuhan menghibur Samuel dengan berkata, "Samuel, jangan engkau bersedih." Samuel berhadapan dengan Saul, yang telah ditolak Tuhan. Kemudian, Samuel juga dipimpin kepada Daud. Ini dobel transisi yang sukar sekali yang dialami Samuel, tapi Tuhan membangkitkan Samuel. Saya percaya, di masa akhir milenium ini, Tuhan akan membangkitkan pemuda-pemudi Kristen yang mencintai Tuhan untuk mengambil-alih seluruh perjalanan berikutnya. Gereja di abad yang akan datang, jangan hanya diurus, dipermasalahkan dengan masalah-masalah sendiri; masih banyak masalah dunia yang harus kita terima dan pertobatkan agar kembali kepada Tuhan.
Siapa yang akan Tuhan bangkitkan itu? Mari sekarang kita melihat ada beberapa persiapan dari seorang yang boleh dipakai Tuhan untuk memimpin umat Allah melewati masa milenium yang sukar ini. Prinsip-prinsip tersebut dinyatakan dari kitab Samuel yang pertama. Saya akan membahasnya dari pertanyaan-pertanyaan yang Tuhan berikan kepada Samuel.
Pertanyaan I: Berapa lama lagi engkau berduka cita karena Saul ? Bukankah ia telah Ku-tolak sebagai raja atas Israel? Sebagai orang yang dipersiapkan Tuhan untuk memimpin masa yang sukar itu menuju masa yang berikutnya, Samuel mengalami kegentaran yang dahsyat, kekacauan, kebingungan, serta kedukacitaan. Pertanyaan Tuhan yang pertama: Mau berapa lama lagi engkau berduka cita karena Saul? Seorang yang mau dipakai Tuhan melewati setting culture yang berubah dahsyat ini, harus mendengar suara Tuhan bertanya pertanyaan pertama ini. Maksudnya adalah: Hai Samuel, berapa lama lagi segala perasaanmu, pergumulanmu, kekuatanmu, hanya diikat oleh problema yang baru kau hadapi, yaitu problema Saul? Kalau perasaanmu, tenagamu, kekuasaanmu sudah habis diikat oleh problema Saul, bagaimana engkau bisa memimpin umat Allah menuju ke satu era yang baru? Mengapa engkau berduka cita karena Saul? Samuel menjawab: Mengapa tidak boleh berduka cita, Tuhan? Karena memang Saul sudah Ku-tolak sebagai raja! Yang ditolak Tuhan harus kita tolak. Yang diterima Tuhan, tidak boleh kita tolak. Kalau engkau berduka cita karena Saul, berarti engkau tidak setuju kepada kehendak Tuhan! Berarti engkau menangis berduka cita karena kehendak Tuhan mau dijalankan. Lucu sekali, bukan? Itulah sebabnya tadi saya katakan, berapa banyak problema-problema di pemuda, di remaja, di hidup kita sehari-hari, di masyarakat, itu hanya agenda-agenda dunia yang berdosa yang kita ambil, kita lekatkan menjadi problema kita, sehingga kita tidak bisa berdaya lagi berjalan, taat kepada Tuhan, mengerjakan pekerjaan yang lebih besar, karena terikat oleh problema-problema yang dibuat oleh dunia yang berdosa. Berapa lama lagi engkau berduka cita karena Saul?
Saudara-saudara yang dikasihi dalam Tuhan Yesus Kristus, harap pertanyaan ini juga boleh kita renungkan. Berapa lama lagi engkau berduka cita atau mungkin engkau bersuka cita, karena dunia modern atau dunia post-modern? Atau karena hidupmu yang sudah enak, tiba-tiba terganggu, tiba-tiba terjadi krisis moneter, tiba-tiba terjadi problema hidupmu, lalu engkau curahkan problemamu menjadi problema banyak orang, sehingga kita sebagai gereja tidak bisa lagi bekerja bagi Tuhan? Kadang-kadang kita sendiri merasa berproblema, lalu kita tidak rela kalau hanya sendiri. Maka kita menjadikan problema kita itu problema juga bagi orang di dalam gereja. Akhirnya semua gereja mirip problema. Berapa lama lagi kita berduka cita, ataupun bersuka cita, karena hal-hal yang tidak diperkenan Tuhan? Bagaimana kita bisa dipakai Tuhan melewati masa yang sukar itu? Kalau kita tidak siap menghadapi, tidak rela dibentuk Tuhan, tidak mungkin kita memahami seperti apakah jaman kita itu, tidak mungkin! Itu pertanyaan yang pertama.
Pertanyaan II: Dalam pertanyaan yang kedua ini, sekarang giliran Samuel yang bertanya kepada Tuhan: Bagaimana mungkin aku pergi? Tuhan, sekali lagi saya mau taat, saya betul-betul mau taat, tapi bagaimana mungkin saya pergi? Kalau Saul tahu bahwa saya pergi untuk mengurapi Daud, maka Saul pasti akan menganggap saya kudeta, menganggap saya pemberontak. Kepala saya akan dipenggal. Bagaimana saya bisa pergi?
Nah, biasanya orang mengatakan: Nah, Tuhan mengajari Samuel untuk berbohong kepada Saul. Sebetulnya bukan di situ konteksnya dan permasalahannya. Apakah Samuel berbohong kepada Saul? Tidak! Kenapa tidak? Karena Saul sudah ditolak oleh Tuhan! Kalau Saul sudah ditolak oleh Tuhan, berarti Saul bukan lagi raja. Siapakah yang mengangkat Saul menjadi raja? Bukankah Tuhan? Jadi kalau Tuhan sudah menolak Saul, tidak akan ada gunanya Saul seakan-akan menjadi Raja, petantang-petenteng di situ. Tuhan sudah menolak Saul! Kalau Saul sudah bukan lagi raja, buat apa Samuel melapor kepada Saul?
Nah, di sini kita masuk pelajaran yang agak sedikit sulit. Pada waktu kita mau dipersiapkan Tuhan, kita tahu problema yang ada, tapi aku sekarang terbuka terhadap dipimpin Tuhan. Sekarang aku bertanya kepada Tuhan: Bagaimana aku mengerjakan ini? Adalah hal yang tidak mudah pada waktu kita mau taat pada Tuhan. Kita betul-betul harus mengerjakan pekerjaan Tuhan dengan cara Tuhan. Contohnya seperti ini:
Jika Saudara main catur dengan seorang yang jago catur, sepintar-pintarnya Saudara, siapa sebenarnya yang lebih pintar? Yang lebih pintar adalah si pembuat catur. Apa sebabnya? Sebab sepintar-pintarnya seorang pemain catur, dia harus tunduk kepada catur itu, betul tidak?
Saudara mau menghadapi modern; Saudara mau menghadapi post-modern, menghadapi culture dunia yang berdosa ini, tapi Saudara masuk ke dalamnya, bagaimana bisa?
Engkau tidak bisa mengerjakan sesuatu di dalam dunia yang sudah dibelenggu oleh sistem kerangka, sementara engkau tidak sadar apa kerangkanya, apa sistemnya. Engkau hanya main-main di situ, dan akibatnya bisa tenggelam di dalamnya, karena engkau tidak berdayanya menghadapi dunia ini. Itu sebabnya Saudara tidak bisa melakukan kehendak Tuhan.
Saudara harus tahu culture yang sedang terjadi. Saudara harus tahu jaman apa yang sedang Saudara alami. Tapi kita tidak boleh memberikan kekuatan kita, suka-duka kita ke dalam keadaan itu. Kita harus tahu, harus mengerti pergumulan itu. Kalau kita mau jujur, sebetulnya apa yang Saudara anggap senang, apa yang Saudara anggap susah, semua sudah didefinisikan oleh dunia modern. Apa itu susah? Susah kalau tidak ada uang. Kenapa kalau tidak ada uang susah? Ya, semua orang berkata begitu di kota-kota.
Suatu ketika, ada seorang mahasiswa di Brawijaya memberi kesaksian di dalam satu pertemuan: Hari ini saya mau bersaksi. Tadi siang saya disuruh bos saya untuk menyetor uang ke bank, di alun-alun kota Malang. Setelah saya setor uangnya, saya pulang lewat alun-alun. (Ketika saya studi di SAAT, alun-alun masih gelap, masih suka banyak orang gila, orang jahat di situ). Tiba-tiba saya ditodong: uang atau nyawa? Aduh Pak! Baru hari itu saya senang sekali kalau saya tidak ada uang! Saya mengeluarkan dompet, tidak ada uang. Yang menodong bingung, mungkin dia berpikir saya gila! Biasanya orang takut-takut, ini saya mengeluarkan semua, tapi tidak ada uangnya. Lalu yang menodong kabur. Dia berkata: Pak, hari ini saya belajar satu hal, tidak ada uang senangnya bukan main!
Kenapa tidak ada uang susah? Karena hidup di dunia modern, di kota besar, semua diukur dengan uang, jadi senang susahmu pun sudah diatur oleh itu. Ketika saya pergi ke Sungkung, pedalaman Kalimantan Barat, dekat Sarawak, saya bertanya, "Apa kebutuhan kalian di sini, dua kebutuhan yang paling utama?" Jawabnya, "Garam dan minyak." Saya bertanya lagi, "Kalau engkau dapat dua itu senang?" Mereka senang, betul-betul senang! Jangan dikira orang-orang di kota lebih bahagia daripada orang di pedalaman. Hari ini, di dalam krisis moneter, semua orang di kota lebih susah daripada orang di desa. Apa itu senang, apa itu susah?
Kedua, kalau kita sudah menyadari culture pergumulan kesulitan itu, lalu sekarang akan bertindak untuk bersaksi bagi Tuhan, engkau tidak boleh cemplung di situ. Engkau tidak boleh memakai cara remoke system yang di situ. Engkau tidak akan berdaya menghadapi itu, karena semua permainan kita sudah dibelenggu di situ. Contoh yang bersifat future, yaitu contoh di dalam hidup rumah tangga. Saya memikirkan satu hal, di dalam pernikahan, kenapa suami istri kalau beda pendapat langsung bertengkar? Karena mereka sadar tidak sadar memakai frame work, memakai pattern menangkal. Jadi akhirnya kalau beda pendapat langsung masing-masing memakai stand point menang atau kalah! Lho....ini bukannya peperangan, ini rumah tangga! Ini pernikahan, bukan peperangan! Peperangan saja ada gencatan senjata, orang cape, bukan? Kalau pernikahan, tiap hari ketemu mukanya, kapan gencatan senjatanya? Tidak bisa karena ini memang bukan peperangan!
Terkadang saya mengamati anak saya. Sedalam-dalamnya, sejujur hati saya, saya tidak pernah terpikirkan kalau suatu hari nanti dia besar dan menjadi kaya, saya akan menumpang di rumah dia. Tidak pernah saya terpikir begitu. Saya berbuat baik kepada dia, karena saya ayahnya! Kalau sudah besar dia juga tidak perlu membalas. Pa, saya bales, deh! Papa baik-baik sama saya, jangan omelin saya. Nanti kalau saya menjadi konglomerat, beres hidup papa. Kalau berani marah-marah sekarang, giliran nanti sebodoh teuing! Kita tidak pernah terpikirkan hal seperti itu! Engkau mau perang melawan modern, melawan post-modern? Engkau sendiri tidak tahu apa polanya? Apa kerangka pemikirannya? Bagaimana engkau bisa mengalahkan mereka? Engkau harus betul-betul menggumuli, memahami, ini jaman apa, masalah apa? Bagaimana cara berpikirnya? Bagaimana kerangkanya? Yang terakhir, saya akan memberikan beberapa ciri mengenai jaman yang kita hadapi. Ayat yang ke 7 adalah jawaban Tuhan atas pertanyaan Samuel. Tuhan berkata kepada Samuel : bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah, manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati. Bagaimana kita dipakai Tuhan untuk memimpin satu jaman transisi yang sukar? Bagaimana kita dipimpin, dipakai Tuhan untuk melewati masa yang sukar ini? Pertama-tama, kita sendiri harus betul-betul sedalam hati kita mau dipakai Tuhan, sedalam hati kita yang paling dasar harus sungguh bersandar kepada Tuhan dan kita juga harus mampu melihat 'hati dari kebudayaan kita'.
Kita harus memahami radik pergumulan manusia yang berdosa di setiap jaman. Tuhan melihat hati. Apakah ketika kita melihat problema-problema dunia kita sekarang, kota kita, bangsa kita, kita tahu betul, apa sebetulnya akar masalahnya? Apa permulaan dari seluruh pergumulan ini? Apa sebetulnya yang menjadi pergumulan-pergumulan nanti? Bunga-bunganya begitu banyak, tapi apakah kita menangkap permasalahannya? Samuel tergoda melihat anak-anak Isai yang tampan-tampan dan gagah perkasa, tapi Tuhan melihat sedalam hati. Karena yang akan dihadapi masa yang sukar, masa kerajaan yang akan Tuhan pimpin, bukan hanya membutuhkan orang yang mempunyai penampilan secara kasat mata yang hebat, tetapi orang yang mempunyai bijaksana, hati yang betul-betul mencintai Tuhan. Sudahkah kita menyerahkan hati kita untuk dipakai oleh Tuhan, hati kita hanya satu untuk Tuhan? Dan sudahkah kita memahami, apa sebetulnya akar permasalahan di dalam dunia ini? Saya mengamati satu hal di dalam banyak perdebatan kita. Kita sebetulnya tidak suka mencari kebenaran. Manusia yang berdosa tidak suka mencari kebenaran. Manusia yang berdosa tidak suka kembali kepada dasar kebenaran Tuhan. Manusia yang berdosa lebih suka berbicara mengenai makna: apa artinya buat saya? Perdebatan-perdebatan ekonomi sekarang semuanya berbicara tentang apa artinya konglomerat, apa artinya buat saya? Dari orang yang tidak punya, apa artinya buat saya? Dari orang kelas menengah, apa artinya buat saya? Tapi kita sukar sekali disuruh berbicara tentang di mana kebenaran? Di mana keadilan? Di mana kebenaran? Di mana segala kebenaran Tuhan yang harus kita pegang? Masing-masing orang hanya berbicara mengenai apa artinya buat saya, apa untungnya buat saya, apa maknanya buat saya. Tuhan melihat sedalam hati kita. Kita tidak bisa hanya melihat, "Oh..., kalau nanti dunia abad ke-21 menyenangkan, saya terima, saya pakai untuk gereja, yang penting bermakna buat saya. Kalau gereja perlu seperti orang dunia, tidak apa-apa kita pakai; tanpa kita memikirkan, mengevaluasi dan melihat dengan mata yang sesungguhnya."
Paul Telly, salah satu tipe orang yang disebut belakangan ini, mempunyai ide semacam ini: Kalau engkau ingin membuat kekristenan cepat maju, kalau engkau ingin membuat kekristenan cepat tersebar di dunia, amati! Kuda apa yang sedang lari pesat di dalam dunia? Maksudnya adalah ide apa, filsafat apa, life style apa yang sekarang sedang disukai oleh dunia? Tunggangi dia, maka kekristenan bisa cepat larinya! Masalahnya, kuda yang kita mau tunggangi bukan kuda jinak, tapi kuda rodeo! Silahkan naik, tapi kalau kau tidak hati-hati akan terpental, akan terlempar! Tidak semudah itu hal yang sedang kita hadapi. Orang kristen harus lebih kreatif dari orang berdosa untuk bisa bercahaya bagi Tuhan. Saya mengamati Saudara membuat being, knowing, doing, putar-putar akhirnya cuma frame work-nya yang berbeda. Kita kurang ada waktu untuk memikirkan, menggumuli keseriusan panggilan Tuhan dalam hidup kita. Kita belum menemukan, sebetulnya seluruh perjalanan bangsa kita menuju apa? Ekonomi kita akan apa? Kondisi akan bagaimana? Lalu akan menuju apa? Jika kita sudah mendapatkan jawabannya, di situ kita boleh memberikan kebenaran Tuhan yang tidak akan habis-habisnya, karena kita menemukan pangkal, pokok, fokus di dalam kebenaran Tuhan.
Terakhir, saya akan menggambarkan satu hal. Di abad ke-21, kita bukan hanya menghadapi serangan-serangan secara langsung. Orang post-modern tidak pernah mau menjadi lawan dari modern. Secara akademik, orang post-modern tidak pernah mau menjadi lawan orang modern, meskipun mereka mengkritik dengan tajam. Karena apa? Karena jikalau mereka menjadi lawan orang modern, seperti yang sudah diungkapkan oleh filsuf modern, maka berarti mereka tetap dikuasai oleh orang modern! Di dalam modern, Hegel berkata: di dalam dunia selalu ada tesis, anti-tesis, kemudian menjadi sintesis. Sintesis kemudian menjadi tesis yang baru dilawan oleh antinya, muncul sintesis yang baru. Sintesis menjadi tesis yang baru, ada lawannya. Kalau post-modern menjadi anti-tesis dari modern, orang modern akan tertawa: engkau sudah menggenapi 'nubuat' dari 'nabi'-ku, 'nabi' Hegel.
Menghadapi post-modern jauh lebih sukar daripada menghadapi modern. Saya ambil contoh yang ringan, mungkin bisa mendekati. Sebagai ilustrasi, saya beri perbandingan modern dengan post-modern secara sederhana melalui film. Film modern dengan film post-modern berbedanya di mana? Beberapa perbedaan: film modern selalu dimulai dengan adanya kasus, contohnya Hunter. Ada mayat tergeletak, gelas pecah, kaca retak, dan ada lobang bekas peluru di kaca, maka Hunter datang bersama patnernya. Lalu Hunter menyelihat, menyelidiki, menganalisa. Ada bau atau tidak, ada sidik jari, pelajari, pakai scientific, maka seluruh film modern adalah film yang mencoba menyelesaikan kasus. Itu film modern. Dalam film post-modern tidak ada kasus, contohnya film Forrest Gump. Isi dari setengah film itu, dia cuma duduk. Hey Forrest Gump, apa kasusmu? Tidak ada, I just want to tell my story. Engkau mau dengar boleh, tidak mau dengar juga tidak apa-apa. I just want to tell my story. Apa kasus Forrest Gump? Tidak ada kasus, cuma cerita. Engkau saja dibodohin mau dengar! Cuma duduk! Lalu seorang bapak datang duduk di situ lagi, dia cerita. He...he... dia mentertawakannya. Sesudah bapak itu pergi Forrest Gump tetap tenang-tenang saja. Dia mengeluarkan sebuah majalah. Ada gambar dia di majalah terkenal di Amerika itu. Dia masuk majalah menjadi cover printing. Engkau boleh mentertawakan saya, sekarang giliran saya mentertawakan kamu. Saya memang orang terkenal, I just want to tell my story!
Kedua: film modern selalu diakhiri dengan happy end. Kalau jagoan ditembak, lolos terus, tapi kalau jagoan tembak, pasti kena. Lalu biasanya film ditutup dengan jagoan berpelukan dengan pacarnya, film selesai. Tapi film post-modern the unending story. Kalau jagoannya ditembak, tidak kena. Giliran jagoan menembak, dor...penjahatnya kena, mati. Nah, selesai. Tapi, eh... kita tunggu-tunggu daftar nama pemain tidak keluar-keluar. Lalu tiba-tiba si camera-man memindahkan setting-nya dari tempat peristiwa, ke kamar mayat. Seorang bapak tergopoh-gopoh membawa mayat masuk ke rumah sakit, ke kamar mayat. Kita menunggu terus belum keluar daftar nama. Ada apa ini? Tiba-tiba kain penutup mayat terbuka, si penjahatnya bangun, berdiri. Dia tersenyum. Baru kemudian daftar nama muncul. Itu adalah film Interview with the Vampire, satu-satunya film yang saya tonton selama di Canada. Saya diajak oleh profesor saya, Calvin Shelfel untuk menonton film ini lalu menganalisanya. Dia seorang estetik teorisis, dan sudah pensiun. Sebelum fiilm dimulai, anak-anak muda datang beli popcorn. Wah, ramai deh! Tapi begitu selesai pukul 9 malam, bioskop itu sepi! Karena apa? Karena the unending story! Vampire-nya masih hidup! Ini akan mempengaruhi cara berpikir hidupmu. Dalam jaman modern, pemuda-pemudi berjuang, berjuang untuk mencapai target, menjadi orang hebat. Jaman post-modern, hidup ini datar. Tiba-tiba saja....dret....dret..., hidup saja, belajar, belajar, sekali-sekali pacaran, ...dret...menikah, dret.... punya anak, dret..... ikut retreat. Begitu pulang, datar lagi. Tahun depan dret.....datar lagi. Seluruh gaya hidup post-modern diawali dengan bulu yang terbang diawal film Forrest Gump, dan diakhiri dengan bulu yang terbang pula di akhir film, tidak tahu ke mana..... Ini membentuk gaya hidup kita di abad yang akan datang. Di mana pemuda-pemudi gereja hadir? Apakah dalam persekutuanmu hanya engkau pikirkan: yang penting orang datang 2 jam....dret.... kembali lagi .....dret ....datang... dret .....kembali lagi? Atau engkau sekedar memaksa orang untuk melakukan sesuatu, tapi dia sendiri tidak tahu apa yang dia lakukan?
Kita menghadapi jaman yang sukar. Bukan sekedar ide yang baru, tapi perubahan dahsyat sedang kita alami. Kita bukan sekedar menghadapi ide-ide yang baru, tapi menghadapi wacana yang baru, discourse yang baru, cara berpikir yang baru, paradigma yang baru, dan menghadapi gelombang jaman yang sukar. Termasuk kita lihat di Indonesia, negara kita yang mengalami krisis ekonomi begini, mengalami perubahan-perubahan yang dahsyat dalam cara berpikir. Jangan ditipu oleh dunia ini! Banyak kesulitan-kesulitan dunia bukan kesulitan kita, karena kita memiliki paradigma di dalam penebusan Yesus Kristus. Orang modern sangat menekankan optimisme manusia. Orang post-modern menekankan pesimisme manusia. Orang Kristen menekankan penebusan di dalam Yesus Kristus, dengan kuasa darah-Nya yang kudus. Itu panggilan kita. Saya harap ini menjadi dorongan bagi kita untuk memikirkan lebih serius, bahwa apa yang kita kerjakan bukanlah perkara yang sederhana, tapi perkara dimana Tuhan sedang memakai engkau dan saya, melewati transisi yang sukar menuju abad yang akan datang. Kalau Tuhan mengijinkan engkau dan saya hidup di penghujung abad ini dan diberi kesempatan melewati abad ini, tanggung jawab kita dituntut lebih banyak oleh Tuhan, seperti Samuel, Yusuf, Ezra, Nehemia dan Yohanes Pembaptis.
|