(bacaan: Yes 58) Tuhan Yesus pernah mengajarkan bahwa ada saat-saat tertentu di mana pelayanan kita menuntut satu pergumulan yang lebih serius, yang tidak dapat dilakukan hanya dengan doa, melainkan dengan puasa juga. Bahkan dalam rangkaian khotbah di bukit sebagaimana tercantum dalam Matius 5-7 puasa termasuk dalam trilogi (yaitu: doa, puasa dan memberi sedekah). Pada ayat-ayat tersebut (Mat. 6:16-18), Tuhan Yesus menggunakan kata yang sama dengan yang digunakannya pada saat Dia menjelaskan tentang doa, yaitu kata ‘apabila’ (whenever, gr.: hotan). Dengan kata lain puasa, sebagaimana doa, adalah sesuatu yang wajar dilakukan oleh orang Kristen, dan yang seharusnya ikut membentuk pertumbuhan kerohanian kita, disiplin rohani yang boleh kita mengerti sebagai alat anugerah (mean of grace). Yang pertama, konsep spiritualitas kekristenan bukanlah satu bentuk spiritualitas yang ‘negatif’ (negatif, maksudnya bukan buruk atau jelek, melainkan sebagai lawan kata dari positif). Artinya seorang Kristen memandang puasa bukan terutama sebagai larangan, tidak boleh makan, tidak boleh minum, tidak boleh tidur, dsb, sebagaimana spiritualitas kristen juga bukan terdiri dari tidak melakukan ini dan tidak melakukan itu (misalnya tidak ke bioskop, tidak ke teater, tidak minum anggur, tidak hidup mewah, dlsb), karena penyangkalan diri seperti itu hanya bersifat ‘negatif’, maksudnya tidak ini dan tidak itu. Ada seorang anak kecil yang ditanya oleh ibunya dengan nada introspeksi, "Apa yang sedang kamu lakukan?" Anak itu menjawab dengan penuh percaya diri, "Nothing!" Dia pikir dengan tidak melakukan apa-apa dia bebas dari kesalahan, karena dia tidak melakukan ini dan itu. Jika konsep kekristenan kita seperti ini, kekritenan yang pasif, pasif tidak melakukan yang salah, pasif terhadap segala macam keinginan (tidak menginginkan apa-apa lagi), maka konsep spiritualitas kita berkisar hanya pada level ‘negatif’. Dan karena itu, yang terjadi dalam puasa seharusnya adalah pada saat-saat seperti itu saya menikmati Allah (bukan memikirkan kapan nih boleh makan?). Dan inilah yang disebut dengan konsep yang ‘positif’. Jadi saya bukan sekedar menahan diri dari tidak makan atau minum (seperti orang diet), melainkan secara positif saya merenungkan diri Allah, kemuliaan-Nya, kekudusan-Nya, belas kasihan-Nya, cinta kasih-Nya, kehendak-Nya, pekerjaan-Nya, kerajaan-Nya, dll. Seringkali puasa kita gagal karena kita tidak berkonsentrasi kepada Allah, melainkan kepada: ‘belum boleh makan, jangan dulu, tahan sebentar lagi, hanya beberapa jam lagi’. Akhirnya yang menjadi kenyataan adalah saya tidak sedang benar-benar berpuasa di hadapan Tuhan. Puasa sebenarnya adalah satu tindakan yang sangat natural. Sama naturalnya dengan saat-saat di mana kita mengalami satu beban atau pergumulan, kesulitan yang kita rasa berat sehingga akhirnya kita jadi susah makan, bahkan seringkali juga susah tidur. Demikian juga halnya dengan puasa: ada satu pergumulan dan concern yang serius, sehingga hal itu menyebabkan kita seperti 'lupa' atau tidak bisa makan. Jadi yang terjadi di sini adalah keengganan untuk makan atau minum karena ada satu hal yang berdasarkan prioritas jauh lebih penting. Hal ini juga sekaligus menjadi satu latihan/disiplin rohani yang baik untuk kita, karena di sini kita belajar untuk menyangkal diri, bahkan dengan menyangkali kebutuhan kita yang paling primer demi urusan kerajaan Allah. Makan, minum atau tidur adalah satu kebutuhan yang boleh dikatakan paling primer, bukan kebutuhan yang bersifat lux dan untuk ini pun kadang Tuhan menuntut kita untuk menyangkalinya. Kita mengetahui bahwa pada saat menjelang pergumulannya di taman Getsemani, Tuhan Yesus meminta ketiga muridnya yang paling eksklusif (Petrus, Yohanes dan Yakobus) untuk berjaga-jaga bersama dengan Dia selama satu jam, namun mata mereka sangat berat dan kelelahan sehingga akhirnya mereka lebih memilih tidur. Saya percaya mereka pada saat itu memang benar-benar lelah dan sangat perlu untuk beristirahat, namun di sini Tuhan Yesus meminta mereka untuk mendampingi-Nya. Demikian pula dalam kehidupan Kristen, ada waktu di mana kita merasa dituntut untuk menyangkal diri seolah sudah di luar batas kemampuan kita, bahkan untuk menyangkali hal-hal yang paling primer dalam hidup kita, tapi justru itulah saat atau momen yang penting bagi pertumbuhan dan kedewasaan rohani yang semakin menyerupai Kristus. Selain itu, puasa, sebagaimana diajarkan dalam Yes. 58, bukan bersifat self-oriented, melainkan neighbours-oriented (memecah roti bagi orang yang lapar, memberikan pakaian kepada yang tidak berpakaian, tidak menyembunyikan diri terhadap saudara, Yes. 58:7). Tentu ini tidak berarti kita tidak boleh berpuasa berkenaan dengan pergumulan yang menyangkut dengan kebutuhan kita sendiri, melainkan poinnya di sini adalah puasa adalah sekaligus sebagai satu latihan di mana kita lebih memikirkan kebutuhan dan kepentingan orang lain lebih daripada kepentingan kita sendiri. Ditulis oleh Billy Kristanto, seorang penginjil yang sedang melayani di Gereja Reformed Injili Indonesia, Jakarta
|