(Bahan Bacaan: Fil 4:11; Ibr 13:5; Mat 6:1-4; 2 Kor 8:14; 1 Pet 1:17; Yoh 10:10-11; Luk 21:2; Mat 6:32-33). Membicarakan sampai di mana batas hidup sederhana, ada satu hal yang relatif: apa yang menurut saya cukup belum tentu cukup bagi orang lain, demikian sebaliknya. Maka yang penting adalah kejujuran kita di hadapan Tuhan yang sanggup untuk memberikan kepekaan kepada kita akan batas-batas tersebut. Belajar dari orang-orang Puritan pada jamannya, ada satu tekanan dalam tulisan-tulisan mereka, yaitu apa yang disebut ‘the spirit of contentment’ (mencukupkan diri dengan apa yang ada pada saya). Juga dalam konteks inilah kita melatih hidup sederhana (yaitu mencukupkan diri dengan apa yang ada), sebab dengan demikian kita menjadi orang yang mensyukuri anugerah dan berkat Tuhan atas diri kita pribadi. Jeremiah Burroughs (seorang Puritan) bahkan mengatakan bahwa spirit of contentment ini sebagai rahasia hidup berbahagia, dimana saya tidak menyiksa diri dengan berbagai keinginan, nafsu atau ambisi yang mencelakakan. Latihan hidup sederhana juga membuat kita menyadari bahwa hidup kita di dunia ini seperti layaknya seorang musafir, seorang yang hanya menumpang di dunia yang sementara ini. Orang yang hidup sebagai musafir tidak akan memiliki satu ambisi untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, sebagaimana seorang yang sedang bepergian tidak akan membawa bekal sebanyak-banyaknya, karena dia tahu seluruh hidupnya adalah sebuah perjalanan yang bersifat sementara, menuju kepada kekekalan. Seluruh kehidupannya adalah kehidupan yang investasinya pada kehidupan yang akan datang, bukan kehidupan saat ini. Alkitab mengajarkan bahwa mereka yang hidup berkelimpahan adalah mereka yang hidupnya mengalirkan pemberian. Sebab lebih berbahagia mereka yang memberi daripada yang menerima. Ada orang yang secara materi hidupnya berkelimpahan, namun seperti kata firman Tuhan ‘tidak diberikan karunia untuk menikmatinya’. Orang seperti ini sebenarnya miskin dan kasihan sekali. Hidupnya bukanlah hidup yang mengalirkan berkat Tuhan, melainkan yang menyedot semua keuntungan untuk dirinya sendiri. Sebaliknya, orang yang menurut ukuran dunia bukanlah orang yang berkelimpahan, namun yang hidupnya senantiasa memberi dan mengalirkan anugerah dan berkat Tuhan bagi orang lain adalah orang yang sungguh-sungguh hidup dalam segala kelimpahan, karena hidupnya selalu luber. Maka pada saat kita memberi, kita sekaligus mengalami pembentukan Tuhan untuk memasuki kehidupan yang semakin diperkaya di dalam Dia. Seluruh hidup Tuhan Yesus Kristus adalah hidup yang memberi, bahkan Dia memberikan yang paling berharga, yaitu nyawa-Nya sendiri bagi tebusan dosa-dosa kita. Hanya orang yang mengalami penebusan di dalam Kristus yang sungguh-sungguh dapat melakukan pemberian yang tulus dan diperkenan oleh Tuhan. Sebagai manusia yang berdosa kita sebenarnya tidak mampu untuk memberi. Seringkali pemberian kita bersifat: munafik, mencari identitas diri, takut dianggap orang kikir, membanggakan diri, menyatakan diri sebagai seorang yang bermoral, dlsb. Motivasi-motivasi seperti itu adalah sesuatu yang menjijikkan di hadapan Tuhan, karena yang terjadi sebenarnya bukanlah saya memberi kepada orang lain, melainkan dari kegiatan rohani tersebut saya berusaha mencari keuntungan, satu kerohanian atau spiritualitas yang berpusat dan bertujuan pada diri sendiri! Namun mereka yang telah mengalami kasih Kristus akan memberi dengan hati yang jujur, karena pemberian itu pada dasarnya mengalir dari Tuhan sendiri, sementara kita sendiri hanyalah sekedar alat, saluran, hamba yang tidak berguna. Dan kita melakukannya dengan mengembalikan segala kemuliaan kepada Tuhan, satu-satunya yang berhak menerimanya. Inilah sekaligus bedanya spiritualitas kekristenan: kita memberi karena Tuhan memberi, maka pemberian kita adalah pemberian Tuhan sendiri. Kita memberi untuk Tuhan, bukan demi diri kita, bahkan bukan juga demi sesama kita, melainkan sekali lagi demi Tuhan (menarik bahwa dalam konteks ini seorang pengkhotbah mengatakan bahwa dalam kacamata orang humanis sekuler Tuhan Yesus pun bersalah karena Dia tidak menyembuhkan semua orang sakit yang ada di kolam Bethesda, padahal semua orang betul-betul menderita). Kita pun tidak dipanggil untuk melayani setiap orang yang tampaknya membutuhkan pertolongan karena berada dalam penindasan (seperti yang sangat ditekankan dalam Liberation Theology) melainkan untuk melayani setiap orang yang Tuhan percayakan dalam hidup kita. Berikutnya orang yang sungguh berkelimpahan memberi dalam kekurangan, bukan hanya dalam kelebihan. Contoh yang indah yang diajarkan dalam Alkitab adalah perbuatan seorang janda miskin yang dipuji oleh Tuhan Yesus sendiri. Janda ini mempersembahkan uangnya bukan dari kocek-nya yang berlebihan melainkan di dalam kekurangannya. Seseorang yang di dalam himpitan kesulitan dan penderitaan masih mengalirkan cinta kasih adalah seorang yang kerohaniannya patut menjadi teladan kita. Tuhan Yesus di atas kayu salib mengalami penderitaan yang luar biasa, dan di dalam 'kekurangannya' itu Dia mengalirkan anugerah, belas kasihan dan cinta kasih yang menyelamatkan Saudara dan saya. Hidup-Nya adalah hidup yang berkelimpahan di tengah-tengah kekurangan. Seperti kata Paulus, ‘meskipun miskin, namun memperkaya banyak orang’. Sebagaimana tertulis dalam Matius 6:1-4 latihan memberi sedekah ini dilakukan dalam ketersembunyian. Spiritualitas Kristen seharusnya adalah spiritualitas ‘ketersembunyian’, bukan spiritualitas ‘show off”. Ketika berdoa mengunci pintu, ketika berpuasa tidak menunjukkan muka yang sedang berpuasa, ketika tangan kanan memberi tangan kiri tidak perlu mengetahuinya. Pada dua yang pertama, kita menyembunyikannya dari orang lain, namun di sini Tuhan Yesus mengajarkan dan sekaligus membuka kerapuhan dan kerentanan manusia yang berdosa yang bahkan juga tidak mampu menyembunyikannya terhadap tangan kirinya sendiri (yaitu dirinya sendiri!). Banyak orang yang berhasil menahan diri dari pujian orang lain, namun gagal untuk tidak memuji diri sendiri. Di sinilah Tuhan kita mengajarkan agar kita menyembunyikan spiritualitas kita bukan hanya di hadapan orang lain, melainkan bahkan juga terhadap diri kita sendiri, karena ‘Bapa kita yang di sorga mengetahuinya’. Yang terakhir, hidup sederhana dan memberi sedekah adalah sebuah latihan bagi iman kita akan kemahakuasaan Tuhan untuk memelihara dan mencukupkan kebutuhan kita. Seringkali pada saat kita hendak memberi yang ada di benak kita adalah bagaimana nanti dengan tabungan saya untuk masa depan. Tuhan mengetahui bahwa kita adalah orang-orang yang lemah, yang mungkin saja secara doktrinal mengerti dengan baik ‘Providensia Allah’, namun dalam kehidupan kita mengikut Tuhan tidak percaya pada doktrin tersebut. Dalam pembentukan spiritualitas yang terjadi seharusnya adalah integrasi dari apa yang kita tahu, sekaligus adalah apa yang kita percaya, yaitu apa yang kita lakukan dan akhirnya kita mengalaminya bersama dengan Tuhan, yang begitu mengasihi kita. Tuhan memberkati kehidupan kita sekalian! Sola Gratia, Solus Christus, Soli Deo Gloria! Ditulis oleh Billy Kristanto, seorang penginjil yang sedang melayani di Gereja Reformed Injili Indonesia, Jakarta
|