(ayat bacaan: Mazmur 51) Salah satu unsur doa yang terpenting adalah confession (pengakuan). Dan justru inilah yang membedakan doa pemungut cukai dengan doa orang Farisi yang diangkat oleh Tuhan Yesus, dimana yang pertama dibenarkan oleh Allah, sedangkan yang kedua tidak. Orang Farisi itu berpendapat bahwa seorang yang datang menghampiri Tuhan haruslah datang dalam kemegahan rohani, dengan berbagai macam aksesoris (‘aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberi sedekah’, dll), supaya akhirnya Tuhan boleh menerima dan bahkan membenarkan dia. Sebaliknya pemungut cukai tersebut dengan berani membuka diri sebagaimana adanya di hadapan Tuhan, mengakui keberadaan dirinya sebagai seorang pendosa. Pertama, di dalam pengakuan (confession), terjadi pengenalan diri yang benar. Calvin mengatakan bahwa barangsiapa mengenal Allah akan mengenal dirinya, demikian pula sebaliknya. Banyak permasalahan yang timbul, entah dalam dunia kerja, dalam gereja atau dalam satu komunitas tertentu disebabkan karena orang tidak mengenal dirinya dengan benar dan pada akhirnya tidak dapat menempatkan diri. Jika kita melakukan disiplin rohani yang satu ini, yaitu confession, kita akan semakin mengenal diri kita sebagaimana Tuhan menghendakinya. Dan itulah yang terjadi dalam diri pemungut cukai yang mengakui keadaan dirinya yang berdosa terhadap Tuhan. Yang kedua, dalam confession ada satu transparansi, terutama di hadapan Tuhan. Kerohanian yang transparan berlawanan dengan kerohanian yang munafik, yang berdiplomasi, yang artifisial dan palsu, sebagaimana yang terjadi dalam diri orang Farisi yang ditolak itu. Kita memang tidak harus menceritakan semua isi hati kita kepada setiap orang, akan tetapi kepada Tuhan seharusnya kita mempunyai keinginan hati seperti Pemazmur yang mengatakan agar Tuhan menyelidiki hati kita dan melihat apakah jalan kita serong, dan agar Dia membebaskan kita dari apa yang tidak kita sadari, sebab kita sendiri lemah, bahkan untuk mengenal diri kita sendiri. Yang ketiga, dalam confession ada kerendahan hati. Bukanlah sesuatu yang mudah untuk minta maaf jika kita telah melakukan kesalahan, bukan? Sebab pada waktu melakukan kesalahan posisi kita sedang berada di bawah, bukannya di atas, ditambah lagi dengan harus minta maaf, semakin merendahkan diri ke bawah. Maka yang sering terjadi adalah orang melakukan rasionalisasi, pembelaan diri agar bisa kembali ke posisi semula, namun ini justru semakin memperburuk keadaan kita karena kita gagal menangkap momen Tuhan untuk membentuk kita (sekalipun sangat mungkin itu adalah satu keadaan yang menyakitkan). Dalam confession ada keanggunan tersendiri karena kita berani mengakui kerentanan dan kerapuhan kita, terutama di hadapan Tuhan yang mengetahui segala sesuatu. Yang keempat, seorang yang melatih confession akan memiliki belas kasihan (compassion) terhadap orang lain. Seringkali kita yang tidak sabar terhadap kelemahan dan kesalahan orang lain hanya membuktikan bahwa kita adalah orang yang jarang mengakui dosa-dosa kita di hadapan Tuhan. Karena seorang yang mengenal dirinya sebagai orang berdosa tidak akan menuntut lebih keras atau memberikan tanggungan yang lebih berat kepada orang lain yang kita sendiri tidak sanggup untuk memikulnya. Maka pada saat orang lain lemah dan gagal, yang terjadi bukanlah penghakiman melainkan pendampingan dan penghiburan, seperti yang telah dilakukan Tuhan kepada kita. Ditulis oleh Billy Kristanto, seorang penginjil yang sedang melayani di Gereja Reformed Injili Indonesia, Jakarta
|